Kafe ini bukan tempat baru, tapi punya tempat istimewa di hati sejumlah temen kantor. Beberapa tahun lalu, waktu masih jadi calon wartawan dan staf litbang, mereka menjalani pelatihan di rumah tua bergaya Belanda yang sekarang menjelma jadi Kopi Progo ini. Karena itu, nggak mengherankan, begitu kafe ini buka, sekitar pertengahan 2009, mereka sangat antusias buat napak tilas.
Aku sih nggak punya ikatan emosional sama tempat ini, tapi mana bisa nganggurin obyek wisata kuliner baru? So, aku juga bergabung dalam pasukan napak tilas itu. Sampe di lokasi, beberapa dari mereka langsung beraksi mengeksplorasi ruangan-ruangan yang dulu pernah dipake buat pelatihan. Bahkan ada yang ngecek kamar mandinya juga.
Sementara mereka sibuk bernostalgila dengan tempat bersejarah itu, aku duduk-duduk aja di sofa sambil mengamati interior kafe yang didominasi elemen kayu berwarna coklat tua itu. Ruangan yang hangat.
Udah? Gitu doang? Enggak dong. Kami manusia biasa yang masih punya rasa haus dan lapar. Jadi, ya butuh makanan dan minuman untuk menyemarakkan acara ngobrol-ngobrol. Meski tempat ini jelas-jelas berjudul "kopi", ada juga lho yang nekat pesen jus dan air mineral! Aku tentunya pesen kopi, kopi hazelnut dingin dengan whipped cream di atasnya. Jangan tanya nama resminya, udah nggak inget. **Gini ini kalo nulis review-nya ditunda-tunda** Untuk makanannya, dipesan ayam rica-rica, kentang goreng sosis, trus pisang bakar coklat keju.
Menurutku, kopinya enak. Temen-temen yang mesen kopi juga berpendapat sama. Kopi enak itu gimana? Secara aku awam dalam perkopian, enggak ngerti teori ini-itu, bagiku kopi enak itu yang rasanya beda sama kopi instan di pasaran. Beda di sini tentu dalam tingkatan yang lebih baek dong yaaa....
Makanannya standar. Bahkan ayam rica-ricanya kurang sesuai harapan si pemesan. Emang sih, aku liat ayam yang dipakai ayam goreng tepung, trus bumbu ricanya kurang nyampur. Ya, namanya juga kafe dengan spesialisasi kopi. Agak lebay kalo berharap dapetin ayam rica-rica yang otentik :p Tapi untuk urusan ngopi, ngemil, dan ngobrol, tempat ini asik. Terbukti temen-temen beberapa kali dateng lagi. Entah karena ikatan emosional itu ato alesanlain.
Aku pun kembali lagi ke tempat ini bareng kakak kelas SMA-ku--kebetulan berprofesi sebagai wartawan dan temen dari beberapa temen kantorku juga--yang lagi tugas ke Bandung. Kami menghabiskan sore di tempat ini, ngobrolin masa-masa SMA, kampung halaman, dan banyak hal. Satu jam yang seru, apalagi harus pake acara ngabur dari kantor (ngabur tapi bilang bos, haha).
Teman kami sore itu, Kopi Progo Machiato (naaaa, sekarang apal namanya, soalnya masih gres), calamari-onion ring, mixed juice (stroberi-jeruk kalo gak salah), plus pisang bakar coklat keju. Bisa tebak kan kopinya pesenan siapa? Kopinya tetep enak dan ternyata calamarinya juga enak. Aku pikir dengan harga Rp 15.000 bakalan lebih banyak onion ring-nya daripada calamari-nya. Tapi, jumlahnya imbang tuh. Nggak sempet ngitung sih, tapi lidahku bisa bedain lah mana bawang bombay mana cumi :p Hmm, laen waktu obral obrol ma siapa lagi ya di sini?Kopi Progo Jalan Progo No 22, Bandung, Telp (022) 4203820
Kopi: Rp 15.000-an (panas), Rp 19.000-an (dingin)
Cemilan (light meals): Rp 15.000-an
Buka sampe jam 23.o0
Thursday, February 11, 2010
Wednesday, February 10, 2010
Makan Siang di 18th Park Distro Food Court
Tempat makan baru di Jalan Sumatera, Bandung (seberang RS Emma Puradireja), ini jadi tempat makan siang aku dan temen-temen cewek beberapa waktu lalu. Sekadar info, 18th Park Distro tuh sekumpulan distro yang dulu bermarkas di Jalan LL RE Martadinata 18. Makanya disebut 18th. Tapi, sekarang lokasinya udah pindah. Usahanya pun berkembang ke bidang kuliner dengan buka food court juga.
Tumben makan siang bareng? Iyaaaa...soalnya ada tamu yang dateng nun jauh dari Medan. Trus temen satu lagi bakal segera ninggalin kota ini, ngikutin suaminya yang mutasi ke luar pulau. So, selagi masih bisa, kami ngumpul-ngumpul.
Di food court ini ada lumayan banyak pilihan: mi, nasi tulang jambal, soto, sop iga bakar, aneka jus buah n sayuran, sate maranggi, trus apa lagi ya? Oh iya, pancake ma wafel. Karena siang itu aku enggak begitu laper, pilihan jatuh ke Fruitylicious, wafel dari gerai Grandma's Recipe.
Dua potong wafel renyah ditandem ama buah kalengan dan es krim vanila. Kombinasi yang cihui. Apalagi da buahnya, jadi tampak menyehatkan. Hehe. Tampilannya juga cukup cantik, cuma warna buahnya yang dominan putih kurang menceriakan.
Untuk minumnya aku salah pesen. Aku pikir minuman yang aku pesen pasti dingin, eh yang dateng panas. Alamaaak. Siang-siang suruh minum panas. Tapi lagi gak berminat komplen, ya udah aku terima aja. Untungnya teh merek Twining itu enak.
Menu laen yang meramaikan meja kami siang itu, pancake pisang dengan topping es krim vanila dan siraman maple syrup. Masih dari Grandma's Recipe. Sempet nyicipin, pancakenya lembut, pisangnya juga berasa. Aku berani bilang enak untuk wafel dan pancake di sini. Sepertinya bakal balik lagi kalo pengen wafel atau pancake.
Temen-temen yang laen pada mesen menu dari gerai nasi tulang jambal. Kali ini aku gak akan banyak berkomentar karena dah pernah nge-review di sini. Melihat ekspresi mereka sih, ekspresi puas. Apalagi yang udah jauh-jauh dari Medan, seneng banget bisa "reuni" ma tulang jambal.
Yang sedikit nggak memuaskan, beberapa pramusajinya masih kurang sigap menerima pesenan. Mungkin karena baru. Tapi gak papa, masih tertolong dengan makanan yang enak-enak, hehe. Kerusakan finansial kami siang itu nggak sampe Rp 20.000 untuk makanan dan kurang dari Rp 10.000 untuk minuman.
Tumben makan siang bareng? Iyaaaa...soalnya ada tamu yang dateng nun jauh dari Medan. Trus temen satu lagi bakal segera ninggalin kota ini, ngikutin suaminya yang mutasi ke luar pulau. So, selagi masih bisa, kami ngumpul-ngumpul.
Di food court ini ada lumayan banyak pilihan: mi, nasi tulang jambal, soto, sop iga bakar, aneka jus buah n sayuran, sate maranggi, trus apa lagi ya? Oh iya, pancake ma wafel. Karena siang itu aku enggak begitu laper, pilihan jatuh ke Fruitylicious, wafel dari gerai Grandma's Recipe.
Dua potong wafel renyah ditandem ama buah kalengan dan es krim vanila. Kombinasi yang cihui. Apalagi da buahnya, jadi tampak menyehatkan. Hehe. Tampilannya juga cukup cantik, cuma warna buahnya yang dominan putih kurang menceriakan.
Untuk minumnya aku salah pesen. Aku pikir minuman yang aku pesen pasti dingin, eh yang dateng panas. Alamaaak. Siang-siang suruh minum panas. Tapi lagi gak berminat komplen, ya udah aku terima aja. Untungnya teh merek Twining itu enak.
Menu laen yang meramaikan meja kami siang itu, pancake pisang dengan topping es krim vanila dan siraman maple syrup. Masih dari Grandma's Recipe. Sempet nyicipin, pancakenya lembut, pisangnya juga berasa. Aku berani bilang enak untuk wafel dan pancake di sini. Sepertinya bakal balik lagi kalo pengen wafel atau pancake.
Temen-temen yang laen pada mesen menu dari gerai nasi tulang jambal. Kali ini aku gak akan banyak berkomentar karena dah pernah nge-review di sini. Melihat ekspresi mereka sih, ekspresi puas. Apalagi yang udah jauh-jauh dari Medan, seneng banget bisa "reuni" ma tulang jambal.
Yang sedikit nggak memuaskan, beberapa pramusajinya masih kurang sigap menerima pesenan. Mungkin karena baru. Tapi gak papa, masih tertolong dengan makanan yang enak-enak, hehe. Kerusakan finansial kami siang itu nggak sampe Rp 20.000 untuk makanan dan kurang dari Rp 10.000 untuk minuman.
Monday, February 8, 2010
Sushi Alley, Makan Sushi di "Gang"
Jangan buru-buru ngebayangin gang sempit, kumuh, dan crowded yaaa.... Gang di sini beradab kok, yaitu space memanjang ke belakang di area FO Galeri Lelaki dan distro Ian's Report, Jalan LL RE Martadinata (Riau), Bandung. Persis di sudut perempatan Jalan Riau dan Jalan Banda.
Tempat ini baru muncul beberapa bulan lalu. Sejenis sushi ini, Sushi Alley juga menghadirkan sushi dengan harga terjangkau. Bedanya, tempatnya jauh lebih bagus dengan tatanan bernuansa Jepang. Bandung emang bener-bener hebat, tempat sesempit itu bisa disulap jadi ladang bisnis.
Atas ajakan tetangga sebelah (jangan bosen ya, tetanggaku emang cuma itu-itu ajah), kami gowes ke sana dari kosan. Rutenya rada muter, lewat depan Gedung Sate, biar dengkulnya bekerja dulu, hehehe. Sampe di Sushi Alley kami langsung disambut mas-mas yang kuduga manajernya (dan ternyata bener). Dia langsung mengarahkan kami di mana harus parkir sepeda. Nggak hanya itu, dia juga nanya-nanya kami dari mana. Hmm...sepeda kami memang selalu menarik perhatian dan membuka obrolan.
Masuk ke dalem, areanya terbagi menjadi dua. Pertama, kursi-kursi dan meja tinggi kek minibar. Kedua, semacam lesehan tapi bukan lesehan. Jadi kita gak duduk bersila, tapi duduk biasa di bantal bulet, cuma kakinya masuk ke bawah, menapak di batu-batu. Sambil makan, bisa sekalian pijat refleksi. Kami memilih model kedua karena unik dan kayaknya lebih leluasa. Awalnya sempet gak dibolehin karena cuma berdua, tapi akhirnya boleh juga. Lagian, belakangan dua temen kami nyusul.
Abis itu, kita mesen makanan. Seperti biasa, aku bermain aman dengan pesen sushi mateng. Sori lupa namanya, males nyatet sih, tapi kalo ga salah sushi tuna. Tetangga mesen paketan yang ada salmon mentahnya. Minumnya, aku pesen ocha alias teh jepang.
Sushi datang dengan tampilan yang cantik. Sushi pesenanku ditaruh di "talenan" kayu persegi panjang berukir huruf jepang, ditemani semacam "sayur lodeh" rumput laut. Pesenan yang laen tersaji dalam piring normal, dengan teman yang sama, plus olahan sawi mirip kimchi Korea. Oiya, kalo makan di sini, jangan lupa minta wasabi ke pramusajinya ya soalnya gak disiapin di meja.
Sushi-nya cukup memuaskan, tapi aku belum bisa mengatakannya enak sekali mengingat makanan ini masih termasuk pendatang baru di lidahku. Masih dalam tahap belajar nih mengenal sushi :p Yang agak mengecewakan ocha-nya. Penyajiannya rada njomplang dengan si sushi. Sushi-nya udah cantik-cantik, eh ocha-nya cuma disajiin di gelas melamin biasa yang dalemnya udah kecoklatan bekas teh. Rasanya juga biasa aja. Gak tau beneran teh jepang ato teh lokal.
Kisaran harga di sini Rp 7.000-Rp 45.000. Yang murah-murah biasanya sushi yang dalemnya timun sama apokat. Kalo mo nyobain sekaligus beberapa macem, lebih ekonomis pesen yang paketan. Dinikmati sore-sore, hmm... yummy.... Apalagi kalo kek aku, gak pake bayar alias ditraktir. Makin sedap deh :D :D
Tapi niii... sebenernya ada yang mengganjal di hati soal sushi. Baru-baru ini aku browsing tentang sushi, termasuk bahan-bahannya, yang ternyata pake mirin (alkohol) atau setidak-tidaknya cuka beras, meski untuk Muslim kedua bahan itu bisa diganti cuka biasa, misalnya. Waduuh, mana udah sempet dua kali makan sushi lagi. Kalo dah gini sih aku hanya bisa istighfar kalo seandainya sushi yang kemaren-kemaren aku makan mengandung bahan yang gak boleh aku konsumsi. Lain kali mesti lebih hati-hati dan tanya dulu sebelum beli.
Tempat ini baru muncul beberapa bulan lalu. Sejenis sushi ini, Sushi Alley juga menghadirkan sushi dengan harga terjangkau. Bedanya, tempatnya jauh lebih bagus dengan tatanan bernuansa Jepang. Bandung emang bener-bener hebat, tempat sesempit itu bisa disulap jadi ladang bisnis.
Atas ajakan tetangga sebelah (jangan bosen ya, tetanggaku emang cuma itu-itu ajah), kami gowes ke sana dari kosan. Rutenya rada muter, lewat depan Gedung Sate, biar dengkulnya bekerja dulu, hehehe. Sampe di Sushi Alley kami langsung disambut mas-mas yang kuduga manajernya (dan ternyata bener). Dia langsung mengarahkan kami di mana harus parkir sepeda. Nggak hanya itu, dia juga nanya-nanya kami dari mana. Hmm...sepeda kami memang selalu menarik perhatian dan membuka obrolan.
Masuk ke dalem, areanya terbagi menjadi dua. Pertama, kursi-kursi dan meja tinggi kek minibar. Kedua, semacam lesehan tapi bukan lesehan. Jadi kita gak duduk bersila, tapi duduk biasa di bantal bulet, cuma kakinya masuk ke bawah, menapak di batu-batu. Sambil makan, bisa sekalian pijat refleksi. Kami memilih model kedua karena unik dan kayaknya lebih leluasa. Awalnya sempet gak dibolehin karena cuma berdua, tapi akhirnya boleh juga. Lagian, belakangan dua temen kami nyusul.
Abis itu, kita mesen makanan. Seperti biasa, aku bermain aman dengan pesen sushi mateng. Sori lupa namanya, males nyatet sih, tapi kalo ga salah sushi tuna. Tetangga mesen paketan yang ada salmon mentahnya. Minumnya, aku pesen ocha alias teh jepang.
Sushi datang dengan tampilan yang cantik. Sushi pesenanku ditaruh di "talenan" kayu persegi panjang berukir huruf jepang, ditemani semacam "sayur lodeh" rumput laut. Pesenan yang laen tersaji dalam piring normal, dengan teman yang sama, plus olahan sawi mirip kimchi Korea. Oiya, kalo makan di sini, jangan lupa minta wasabi ke pramusajinya ya soalnya gak disiapin di meja.
Sushi-nya cukup memuaskan, tapi aku belum bisa mengatakannya enak sekali mengingat makanan ini masih termasuk pendatang baru di lidahku. Masih dalam tahap belajar nih mengenal sushi :p Yang agak mengecewakan ocha-nya. Penyajiannya rada njomplang dengan si sushi. Sushi-nya udah cantik-cantik, eh ocha-nya cuma disajiin di gelas melamin biasa yang dalemnya udah kecoklatan bekas teh. Rasanya juga biasa aja. Gak tau beneran teh jepang ato teh lokal.
Kisaran harga di sini Rp 7.000-Rp 45.000. Yang murah-murah biasanya sushi yang dalemnya timun sama apokat. Kalo mo nyobain sekaligus beberapa macem, lebih ekonomis pesen yang paketan. Dinikmati sore-sore, hmm... yummy.... Apalagi kalo kek aku, gak pake bayar alias ditraktir. Makin sedap deh :D :D
Tapi niii... sebenernya ada yang mengganjal di hati soal sushi. Baru-baru ini aku browsing tentang sushi, termasuk bahan-bahannya, yang ternyata pake mirin (alkohol) atau setidak-tidaknya cuka beras, meski untuk Muslim kedua bahan itu bisa diganti cuka biasa, misalnya. Waduuh, mana udah sempet dua kali makan sushi lagi. Kalo dah gini sih aku hanya bisa istighfar kalo seandainya sushi yang kemaren-kemaren aku makan mengandung bahan yang gak boleh aku konsumsi. Lain kali mesti lebih hati-hati dan tanya dulu sebelum beli.
Friday, February 5, 2010
Strudel yang Menawan Hati
Kalo ada makanan baru yang sempet aku idam-idamkan banget, itu adalah strudel, pastry berlapis-lapis yang menurut berbagai sumber khas Austria dan negara-negara di sekitarnya. Tahu tentang kue ini udah lama, tahun 2007, dari tulisan di koran bahasa Indonesia beroplah terbesar di dunia (versi cetak). Berdasarkan info di tulisan tersebut, strudel termasuk kue yang repot. Mulai dari pembuatan adonannya yang perlu perlakuan khusus, harus di ruangan bersuhu -5 derajat celsius, sampe cara makannya yang mesti hati-hati mengingat kue itu ringan dan berlapis-lapis, potensial remuk dan berantakan.
Disebut pula, meskipun lagi diet, kita gak bakal merasa bersalah karena strudel gak ngenyangin. Gak ngenyangin sih mungkin ya, tapi gimana dengan kandungan lemaknya? :D
Lalu, baca di sini, ternyata ada kafe strudel di Bandung. Wah, harus coba nih. Setelah lama tertunda akibat cuti dan beberapa agenda lain, akhirnya kesampaian juga nyambangin kafe yang jaraknya cuma sepelemparan batu dari kantor.
Kafenya dari luar tampak kecil. Tapi ternyata memanjang dan melebar di belakang. Di bagian depan (indoor) ada beberapa set sofa dan meja, rata-rata berkapasitas empat orang. Sementara di bagian belakang (outdoor) ada set meja dan kursi kayu.
Gak pake lama, aku udah tau apa yang mau dipesen, berkat googling dan Fb-an ma temen milis makan-makan. Aku pesen apple strudel sama iced lemon tea unggulan kafe ini. Temenku pesen rhum raisin studel dan iced coffee. Iced lemon tea-nya istimewa dengan campuran daun mint dan topping lemon sorbet. Seger banget. Iced coffee-nya kata temenku terasa instan. Biasa aja.
Gimana dengan strudel-nya? Dari tampilannya aja udah menawan hati. Terdiri dari tiga potong pastry berlapis-lapis yang masing-masing disatukan dengan semacam lapisan vla dan potongan apel untuk apple strudel. Urutannya kek sandwich gitu lah. Untuk yang rhum raisin strudel, apelnya diganti rhum raisin.Pastry-nya emang bertekstur sangat ringan, renyah, dan cenderung rapuh, rawan berantakan kalo kita makannya enggak hati-hati. Meski disajikan lengkap dengan pisau dan garpu, peralatan itu akhirnya enggak terlalu kepake karena kita lebih merasa aman makan secara manual... hahaha. Manis vla-nya juga pas dengan potongan apel yang masih renyah. Oke banget dehhh..
Puas rasanya kesampaian makan kue idaman. Kafe ini ga hanya menyediakan aneka strudel, tapi juga beberapa jenis kue, pasta, steak, dan nasi. Tapiii, kalo ke sini lagi aku tetep mau makan strudel sih. Karena masih banyak jenis strudel, termasuk yang asin. Trus, minumnya mo yang pake mango sorbet. Sluuurppp... :))
The Strudels
Jalan Progo No 13A, Bandung
Strudel: Rp 15.000-an
Minuman: belasan ribu juga
Disebut pula, meskipun lagi diet, kita gak bakal merasa bersalah karena strudel gak ngenyangin. Gak ngenyangin sih mungkin ya, tapi gimana dengan kandungan lemaknya? :D
Lalu, baca di sini, ternyata ada kafe strudel di Bandung. Wah, harus coba nih. Setelah lama tertunda akibat cuti dan beberapa agenda lain, akhirnya kesampaian juga nyambangin kafe yang jaraknya cuma sepelemparan batu dari kantor.
Kafenya dari luar tampak kecil. Tapi ternyata memanjang dan melebar di belakang. Di bagian depan (indoor) ada beberapa set sofa dan meja, rata-rata berkapasitas empat orang. Sementara di bagian belakang (outdoor) ada set meja dan kursi kayu.
Gak pake lama, aku udah tau apa yang mau dipesen, berkat googling dan Fb-an ma temen milis makan-makan. Aku pesen apple strudel sama iced lemon tea unggulan kafe ini. Temenku pesen rhum raisin studel dan iced coffee. Iced lemon tea-nya istimewa dengan campuran daun mint dan topping lemon sorbet. Seger banget. Iced coffee-nya kata temenku terasa instan. Biasa aja.
Gimana dengan strudel-nya? Dari tampilannya aja udah menawan hati. Terdiri dari tiga potong pastry berlapis-lapis yang masing-masing disatukan dengan semacam lapisan vla dan potongan apel untuk apple strudel. Urutannya kek sandwich gitu lah. Untuk yang rhum raisin strudel, apelnya diganti rhum raisin.Pastry-nya emang bertekstur sangat ringan, renyah, dan cenderung rapuh, rawan berantakan kalo kita makannya enggak hati-hati. Meski disajikan lengkap dengan pisau dan garpu, peralatan itu akhirnya enggak terlalu kepake karena kita lebih merasa aman makan secara manual... hahaha. Manis vla-nya juga pas dengan potongan apel yang masih renyah. Oke banget dehhh..
Puas rasanya kesampaian makan kue idaman. Kafe ini ga hanya menyediakan aneka strudel, tapi juga beberapa jenis kue, pasta, steak, dan nasi. Tapiii, kalo ke sini lagi aku tetep mau makan strudel sih. Karena masih banyak jenis strudel, termasuk yang asin. Trus, minumnya mo yang pake mango sorbet. Sluuurppp... :))
The Strudels
Jalan Progo No 13A, Bandung
Strudel: Rp 15.000-an
Minuman: belasan ribu juga
Wednesday, February 3, 2010
Sambel Hejo yang Kontroversial
Judulnya serius amat yak untuk ukuran ngomongin makanan? Sebenernya Sambel Hejo-nya baek-baek aja. Aku dan tetangga sebelah yang menjadikannya kontroversial... Selama ini kami terlihat kompak, ke mana-mana bareng, dan sepertinya satu selera, terutama dalam hal makanan. Tapiii, ternyata gak untuk yang satu ini. Setelah sekian tahun bersahabat, akhirnya ada juga yang bertolak belakang antara aku dan dia: selera terhadap si Sambel Hejo.
Buat yang belum tahu, Sambel Hejo itu "merek" rumah makan Sunda yang berlokasi di Jalan Natuna, Kota Bandung. Kenal sajian Sambel Hejo pertama kali dari bos besar di kantor. Bukaaan...bukan karena ditraktir. Jadi, berhubung si bos hobi menyantap nasi timbel kumplit dari Sambel Hejo, sering kali acara rapat di kantor "disempurnakan" dengan paket nasi kotakan dari sana.
Oke, sekarang mari kita lihat di mana letak pertentangannya. Kesan pertamaku sama si Sambel Hejo sebenernya udah enggak baek. Sementara tetanggaku langsung termehek-mehek dengan cimplung, semacam perkedel dari singkong campur kentang, yang konon khas Purwakarta. Rasanya kenyel-kenyel gimana gituh. Menurutku rasa seperti itu menye-menye. Setengah singkong setengah kentang. Aku gak suka rasa yang setengah-setengah itu. Kalo aku sih, mending makan perkedel atau singkong goreng sekalian... Hehehe.
Pertentangan berikutnya soal ayam gorengnya. Ehm..bisa disebut ayam goreng gak ya? Soalnya tampilannya basah. Sepertinya ini ayam ungkep dengan bumbu agak kuning yang dicelup ke minyak panas sebentar dan langsung diangkat. Buat aku yang beraliran ayam goreng itu harus kering, ayam goreng Sambel Hejo gak memenuhi syarat. Beda dengan tetanggaku, dia berkenan-berkenan aja dengan ayam goreng itu. Guyyiiih katanya. Halaaahh...
Selanjutnyaaa.. soal sambel. Bagiku sambel yang enak itu sambel terasi yang pedesnya nampol. Lebih suka yang mentah dan ulekan cabenya agak kasar. Wuiiihh yummmy... Beda ma sambel di rumah makan Sunda kebanyakan, sambel di Sambel Hejo ini emang gak biasa. Mungkin karena itu jadi merek rumah makannya ya. Sambel di sini tak lain adalah sambel hijau, yang ramuannya antara lain terdiri dari cabe hijau, tomat hijau, dan kencur. Rasanya nggak pedes sama sekali. Malah dominan asemnya tomat dan tajemnya kencur. Untuk yang satu ini pendapatku diamini seorang temen dari Jakarta. Dia bilang rasanya kek jamu... :D Lebay, ya? Gimana dengan pendapat tetanggaku? Dia bilang baek-baek aja.
Satu-satunya yang bisa aku toleransi cuma aneka pepesnya aja, terutama pepes tahu. Pepes terinya terlalu asin di lidahku, mungkin karena porsi terinya terlalu melimpah. Tapi itu gak akan jadi masalah kalo ada cabe utuh di dalemnya. Rasa asinnya bisa dinetralisasi dengan menggigit cabe.
By the way busway, tulisan ini aku buat bukan untuk menjatuhkan Sambel Hejo loh yaaaa... Soalnya, banyak review positif tentang sajian Sambel Hejo kok. Terbukti, tetanggaku sampe tergila-gila dengan cimplung, trus kantorku juga sering banget mesen nasi kotak di sana. Tapi, masalah selera kan ga bisa dipaksa-paksa. Sekian kali mencoba--terakhir minggu lalu (dan aku makan dengan sangat khusyuk)--ternyata penilaianku tetep sama :p
Well, meski berseberangan, demi menghormati selera tetanggaku, sepertinya aku harus menerima ajakannya makan di tempat. Dia akan makan cimplung sepuasnya, sementara aku belum tahu mo makan apa. Paling tidak, aku akan menikmati suasana di rumah makan mungil yang tampak homy itu sambil motret-motret buat blog ini.
Buat yang belum tahu, Sambel Hejo itu "merek" rumah makan Sunda yang berlokasi di Jalan Natuna, Kota Bandung. Kenal sajian Sambel Hejo pertama kali dari bos besar di kantor. Bukaaan...bukan karena ditraktir. Jadi, berhubung si bos hobi menyantap nasi timbel kumplit dari Sambel Hejo, sering kali acara rapat di kantor "disempurnakan" dengan paket nasi kotakan dari sana.
Oke, sekarang mari kita lihat di mana letak pertentangannya. Kesan pertamaku sama si Sambel Hejo sebenernya udah enggak baek. Sementara tetanggaku langsung termehek-mehek dengan cimplung, semacam perkedel dari singkong campur kentang, yang konon khas Purwakarta. Rasanya kenyel-kenyel gimana gituh. Menurutku rasa seperti itu menye-menye. Setengah singkong setengah kentang. Aku gak suka rasa yang setengah-setengah itu. Kalo aku sih, mending makan perkedel atau singkong goreng sekalian... Hehehe.
Pertentangan berikutnya soal ayam gorengnya. Ehm..bisa disebut ayam goreng gak ya? Soalnya tampilannya basah. Sepertinya ini ayam ungkep dengan bumbu agak kuning yang dicelup ke minyak panas sebentar dan langsung diangkat. Buat aku yang beraliran ayam goreng itu harus kering, ayam goreng Sambel Hejo gak memenuhi syarat. Beda dengan tetanggaku, dia berkenan-berkenan aja dengan ayam goreng itu. Guyyiiih katanya. Halaaahh...
Selanjutnyaaa.. soal sambel. Bagiku sambel yang enak itu sambel terasi yang pedesnya nampol. Lebih suka yang mentah dan ulekan cabenya agak kasar. Wuiiihh yummmy... Beda ma sambel di rumah makan Sunda kebanyakan, sambel di Sambel Hejo ini emang gak biasa. Mungkin karena itu jadi merek rumah makannya ya. Sambel di sini tak lain adalah sambel hijau, yang ramuannya antara lain terdiri dari cabe hijau, tomat hijau, dan kencur. Rasanya nggak pedes sama sekali. Malah dominan asemnya tomat dan tajemnya kencur. Untuk yang satu ini pendapatku diamini seorang temen dari Jakarta. Dia bilang rasanya kek jamu... :D Lebay, ya? Gimana dengan pendapat tetanggaku? Dia bilang baek-baek aja.
Satu-satunya yang bisa aku toleransi cuma aneka pepesnya aja, terutama pepes tahu. Pepes terinya terlalu asin di lidahku, mungkin karena porsi terinya terlalu melimpah. Tapi itu gak akan jadi masalah kalo ada cabe utuh di dalemnya. Rasa asinnya bisa dinetralisasi dengan menggigit cabe.
By the way busway, tulisan ini aku buat bukan untuk menjatuhkan Sambel Hejo loh yaaaa... Soalnya, banyak review positif tentang sajian Sambel Hejo kok. Terbukti, tetanggaku sampe tergila-gila dengan cimplung, trus kantorku juga sering banget mesen nasi kotak di sana. Tapi, masalah selera kan ga bisa dipaksa-paksa. Sekian kali mencoba--terakhir minggu lalu (dan aku makan dengan sangat khusyuk)--ternyata penilaianku tetep sama :p
Well, meski berseberangan, demi menghormati selera tetanggaku, sepertinya aku harus menerima ajakannya makan di tempat. Dia akan makan cimplung sepuasnya, sementara aku belum tahu mo makan apa. Paling tidak, aku akan menikmati suasana di rumah makan mungil yang tampak homy itu sambil motret-motret buat blog ini.
Tuesday, February 2, 2010
Sroto, Soto Pake R
Di deket kantorku, tepatnya di seberang Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, sekitar dua bulan lalu, muncul warung tenda baru dengan banner kuning dan tulisan merah lumayan besar "Sroto Sokaraja". Meski wawasanku di bidang persotoan ga bisa dibilang luas, dibandingkan dia dan dia, misalnya, setidaknya aku tahu di daerah Banyumas, Jawa Tengah, ada khazanah kuliner yang disebut soto, seperti halnya Makassar yang punya coto.
Dan, meski bukan penggemar setia soto, sebagai penikmat kuliner, penasaran juga untuk mencoba si sroto dari Sokaraja itu. Berhubung lagi males keluar kantor sore-sore (emang tiap hari males keluar kantor sih kalo udah berhadapan dengan layar komputer), dengan bantuan mas OB, seporsi sroto pun sampai ke mejaku. Sebenernya, berdasarkan pengalaman, soto termasuk jenis makanan yang enggak cocok dibawa pulang, enaknya makan di tempat. Kalo dibawa pulang, rasanya bakalan menurun sekian persen. Gak percaya? Coba aja...Apalagi kalo perjalanan pulangnya memakan waktu berjam-jam, bisa basi tuh makanan :p
Tapi, waktu itu aku hanya penasaran kek apa sroto sokaraja itu. Jadi nggak peduli mo enak atau enggak. Ternyata ya kek soto biasa, ada suwiran ayam (aku pesen sroto ayam, tp ada juga yang daging sapi), soun, toge, dll. Yang membedakan sambel kacangnya. Kalo versi otentiknya ada krupuk warna pink menyalanya juga, cuma pas aku beli enggak ada. Gak papa, yang penting dah gak penasaran lagi.
Sampai saat ini, warung tenda itu masih berdiri, berarti masih laku. Hanya saja--sebenernya ini nih yang mo aku bahas di sini--ada yang berbeda di banner kuningnya. Yang awalnya tertulis "Sroto", sekarang jadi "Soto". Huruf R-nya ditutup plakban warna coklat. Samar-samar masih keliatan sih. Wagunya lagi, di banner yang ditempel di gerobak tetep tertulis "Sroto". Jadi ngalor ngidul deh.
Si penjual niat gak sih memperkenalkan kekayaan kuliner daerahnya? Ato nama sroto kurang menjual? Ato mereka ga tahan sama pertanyaan orang-orang Bandung yang masih awam dengan sroto? Trus, kalo namanya diganti soto, kekhasannya ada di mana? Eh, kok aku yang nyinyir ya? Mereka yang juwalan, suka-suka mereka dong ya....
Dan, meski bukan penggemar setia soto, sebagai penikmat kuliner, penasaran juga untuk mencoba si sroto dari Sokaraja itu. Berhubung lagi males keluar kantor sore-sore (emang tiap hari males keluar kantor sih kalo udah berhadapan dengan layar komputer), dengan bantuan mas OB, seporsi sroto pun sampai ke mejaku. Sebenernya, berdasarkan pengalaman, soto termasuk jenis makanan yang enggak cocok dibawa pulang, enaknya makan di tempat. Kalo dibawa pulang, rasanya bakalan menurun sekian persen. Gak percaya? Coba aja...Apalagi kalo perjalanan pulangnya memakan waktu berjam-jam, bisa basi tuh makanan :p
Tapi, waktu itu aku hanya penasaran kek apa sroto sokaraja itu. Jadi nggak peduli mo enak atau enggak. Ternyata ya kek soto biasa, ada suwiran ayam (aku pesen sroto ayam, tp ada juga yang daging sapi), soun, toge, dll. Yang membedakan sambel kacangnya. Kalo versi otentiknya ada krupuk warna pink menyalanya juga, cuma pas aku beli enggak ada. Gak papa, yang penting dah gak penasaran lagi.
Sampai saat ini, warung tenda itu masih berdiri, berarti masih laku. Hanya saja--sebenernya ini nih yang mo aku bahas di sini--ada yang berbeda di banner kuningnya. Yang awalnya tertulis "Sroto", sekarang jadi "Soto". Huruf R-nya ditutup plakban warna coklat. Samar-samar masih keliatan sih. Wagunya lagi, di banner yang ditempel di gerobak tetep tertulis "Sroto". Jadi ngalor ngidul deh.
Si penjual niat gak sih memperkenalkan kekayaan kuliner daerahnya? Ato nama sroto kurang menjual? Ato mereka ga tahan sama pertanyaan orang-orang Bandung yang masih awam dengan sroto? Trus, kalo namanya diganti soto, kekhasannya ada di mana? Eh, kok aku yang nyinyir ya? Mereka yang juwalan, suka-suka mereka dong ya....
Subscribe to:
Posts (Atom)