Wednesday, June 4, 2014

Soto Jakarta H Agus Barito

Kalau menurut spanduk, judul warung kaki lima di kawasan Barito, Jakarta Selatan, ini "Soto & Sop Kaki Sapi, Sum-sum, dll H. Agus". Judulnya geje banget? Dan lain-lain itu apa? Well, abaikan. Soto di sini termasuk gagrak soto jakarta alias soto betawi. Sebenernya ada pengalaman buruk dengan soto betawi. Dulu sewaktu masih di Bandung, aku pernah pesen soto betawi ke teman OB di kantor. Ternyata sotonya full jeroan, nggak ada dagingnya sama sekali. Aku langsung ilfil nggak jadi makan karena aku emang nggak doyan jeroan. Belakangan aku dikasih tau, sebenernya bisa pesen isinya daging doang kalau nggak mau jeroan.

Abis itu, aku nggak pernah pesen-pesen lagi soto betawi. Makan soto betawi lagi pas udah di Jakarta. Waktu itu di kantor ada program dapur umum buat korban banjir Jakarta. Nah pas hari terakhir, ibu-ibu warga sekitar kantor masakin soto betawi buat seluruh relawan dapur umum.

Kalau untuk soto betawi warungan, soto H Agus ini pengalaman pertama. Awalnya ada temen yang ngomong via WA kalau ada soto yang recommended di daerah Barito. Setelah janjian yang rada-rada nggak jelas, kita ke sana juga pada suatu Sabtu siang. Kita dateng hampir setengah 2 dan warungnya masih rameee banget. Semua tempat duduk penuh, yang ngantre juga banyak.

Ya sudah kita juga ikutan ngantre. Untungnya pelayanan mereka lumayan cepet, jadi kita nunggunya nggak kelamaan. Nggak sampe bikin aku emosi atau gemeteran saking lapernya.

Oke, soto daging yang kita pesen dateng. Yak, aku pesen yang isinya daging aja. Standar banget ya? Abis nggak sanggup makan babat, ginjal, dan temen-temennya. Kemaren denger kata ginjal aja udah ngeri. Setelah ritual wajib kucur-kucur jeruk nipis dan sambel, soto yang penuh taburan emping goreng ini mulai aku cicipin. Sayangnya aku kebanyakan ngasih jeruk nipis dan nggak berani kasih sambel banyak-banyak karena perut lagi sensi, jadi sotonya agak terlalu asem dan kurang menggigit. Dagingnya sendiri empuk sih. Kuahnya juga gurih. Cuma kita curiga, sebenernya soto itu enaknya murni karena bumbu-bumbu rahasia apa karena micin. Kemaren ada sih pengunjung yang minta soto tanpa micin juga.


 
Selain perkara micin, sempet dibahas juga masalah talenan yang dipake buat ngiris segala macem perintilan soto. Kata temenku, sampe talenannya dekil kayak penuh daki. Huek, nggilani. Padahal kalau kata Chef Juna di Master Chef Indonesia dulu, talenan itu mesti dipisah antara yang buat motong daging dan sayuran biar nggak terjadi kontaminasi silang.


Tapi meski ada bagian yang nggilani, kayaknya kita mau ke sana lagi, masih ada yang penasaran ama sum-sumnya plus nyobain soto tanpa micin. Kalow aku nyobain sopnya aja kali ya, yang tanpa santan. O, iya, total kerusakan untuk dua porsi soto plus nasi, es jeruk, teh botol dingin, dan dua bungkus emping Rp 60.000. Kalau mau sum-sum, harus dateng jam 11.00-12.00 karena di luar itu dijamin pasti keabisan.

Tuesday, May 7, 2013

Makanan Pinggir Jalan, Surga Kuliner di Depan Mata

Makanan enak selalu identik dengan tempat makan bagus sekelas restoran atau kafe? Menurut saya kok enggak. Entah tertanam sejak kapan, saya berpendapat, ada jenis makanan tertentu yang keotentikan rasanya tidak bisa kita temukan di restoran. Untuk makanan seperti sate, soto, nasi uduk, atau sop, saya lebih percaya pada warung pinggir jalan, entah warung permanen sederhana maupun warung tenda bongkar pasang. Kalau warung itu selalu ramai, berarti kita wajib coba.

Pernah ke Jogja kan? Di sana ada kekayaan kuliner bernama angkringan, dan itu pasti di pinggir jalan. Tempat duduk hanya tersedia di sekeliling gerobak yang sekaligus berfungsi sebagai meja untuk menyajikan sego kucing (nasi kucing) dan kawan-kawan, atau lesehan beralas tikar. Tapi, dijamin kita betah ngobrol berjam-jam sambil menikmati sego kucing dengan lauk aneka sate (telur puyuh, ati ampela, bakso), tahu-tempe bacem, atau gorengan. Tak ketinggalan teh poci nasgitel (panas-manis-kental) atau kopi hitam yang dicemplungi arang membara, yang akrab disebut kopi jos.
Di Bandung, di kawasan Cikapundung, ada warung pinggir jalan yang baru buka malam hari sampai pagi hari. Warung itu ramainya setengah mati. Makin mendekati pagi, makin ramai. Di sana, kalau kita lagi diet, mungkin program kita bakal gagal total mengingat banyak menu yang mengandung santan atau lemak, misalnya gulai, jerohan, dan usus. Tapi masih banyak juga kok menu yang lebih sehat, seperti tumis-tumisan dan pepes. Tapi, terlepas dari risiko gagal diet tersebut, sajiannya yang beragam, lengkap dengan bonus keramah-tamahan pemiliknya--yang selalu akrab menyapa pelanggan dengan sebutan geulis (cantik), kasep (ganteng), atau bu haji--menjadi magnet yang membuat kita selalu pengen dating lagi.

Masih dari Bandung, di salah satu ruas jalan yang dipenuhi dengan factory outlet, ada juga warung pinggir jalan yang bisa dibilang nomaden. Setahu saya, warung itu sudah pindah tiga kali. Awalnya mereka buka sekitar jam 11 malam, tapi kemudian buka lebih awal demi tuntutan konsumen yang enggak bisa makan kemalaman. Walaupun cuma warung kaki lima, perpindah-pindah pula, warung itu tetap ramai sampai sekarang.

Di Jakarta, banyak warung kelas kaki lima yang tidak pernah sepi. Wawasan saya seputar Jakarta masih sangat sempit, mengingat saya masih terhitung pendatang baru. Tapi setidaknya ada beberapa lokasi di sekitar tempat tinggal saya yang terlihat selalu ramai.

Di Pejompongan ada warung tenda aneka penyet dengan sambel khas yang menjadi juaranya. Dilihat sekilas dari luar, penampakan warung itu ”enggak banget”, tapi ramainya ampun-ampunan. Orang rela mengantre dari lapar sampai kenyang lagi, saking lamanya.

Bergeser sedikit ke daerah Rawa Belong,  ada warung tenda nasi uduk yang cukup kondang di seantero Jakarta. Di siang hari, masih di kawasan yang sama, ada asinan betawi dan rujak juhi yang selalu menggoda iman di tengah teriknya Ibu Kota.

Sekadar memberi gambaran, di sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya (sekali jalan sekitar 5 kilometer), bisa ditemukan banyak sekali ragam kuliner kekayaan Nusantara. Selain nasi uduk, asinan betawi, dan rujak juhi di atas, masih banyak lagi sajian yang menarik hati. Sebut saja soto mi khas Bogor, soto lamongan, sop buah berembel-embel Bandung, ketupat sayur, pecel kediri, pecel madiun, martabak (mulai dari yang mengusung nama Bandung, Bangka, sampai Mesir), angkringan sego kucing, pisang goreng pontianak, mendoan, dan sate padang. Banyak kan? Tapi masih ada lagi. Coba saya ingat-ingat lagi.

Oiya, ada kue dongkal (kue tradisional Betawi, mirip awug di Sunda), dan yang terbaru ada warung tenda bir pletok plus ketan bakar. Konsepnya saya lihat mirip angkringan Jogja. Duduknya lesehan.
Nah, yang ini saya belum coba, tapi segera menjadi target selanjutnya.

Kembali ke kekayaan kuliner jalanan. Itu baru seruas jalan sepanjang 5 kilometer. Dan belum semua saya sebutkan, misalnya nasi goreng dan pecel lele yang bisa dikatakan menjadi ”pemandangan wajib” di setiap ruas jalan. Coba seluruh Jakarta, coba seluruh Indonesia. Wuaaah, pasti banyak banget!  Kalau sudah begini, saya merasa bahagia hidup di Indonesia. Karena surga kuliner ada di depan mata, bertebaran di mana-mana. Ya, walaupun kadang ngomel-ngomel karena trotoar dimonopoli, atau kadang mengalami gangguan pencernaan ketika jajan sembarangan, saya tetap enggak kapok mengunyah jajanan pinggir jalan. Yuuuk, siapa mau ikut kulineran di pinggir jalan bareng saya?


Tulisan ini saya buat untuk memeriahkan Femina Foodlovers Blog Competition 2013