Makanan enak selalu identik dengan tempat makan bagus sekelas restoran atau kafe? Menurut saya kok enggak. Entah tertanam sejak kapan, saya berpendapat, ada jenis makanan tertentu yang keotentikan rasanya tidak bisa kita temukan di restoran. Untuk makanan seperti sate, soto, nasi uduk, atau sop, saya lebih percaya pada warung pinggir jalan, entah warung permanen sederhana maupun warung tenda bongkar pasang. Kalau warung itu selalu ramai, berarti kita wajib coba.
Pernah ke Jogja kan? Di sana ada kekayaan kuliner bernama angkringan, dan itu pasti di pinggir jalan. Tempat duduk hanya tersedia di sekeliling gerobak yang sekaligus berfungsi sebagai meja untuk menyajikan sego kucing (nasi kucing) dan kawan-kawan, atau lesehan beralas tikar. Tapi, dijamin kita betah ngobrol berjam-jam sambil menikmati sego kucing dengan lauk aneka sate (telur puyuh, ati ampela, bakso), tahu-tempe bacem, atau gorengan. Tak ketinggalan teh poci nasgitel (panas-manis-kental) atau kopi hitam yang dicemplungi arang membara, yang akrab disebut kopi jos.
Di Bandung, di kawasan Cikapundung, ada warung pinggir jalan yang baru buka malam hari sampai pagi hari. Warung itu ramainya setengah mati. Makin mendekati pagi, makin ramai. Di sana, kalau kita lagi diet, mungkin program kita bakal gagal total mengingat banyak menu yang mengandung santan atau lemak, misalnya gulai, jerohan, dan usus. Tapi masih banyak juga kok menu yang lebih sehat, seperti tumis-tumisan dan pepes. Tapi, terlepas dari risiko gagal diet tersebut, sajiannya yang beragam, lengkap dengan bonus keramah-tamahan pemiliknya--yang selalu akrab menyapa pelanggan dengan sebutan geulis (cantik), kasep (ganteng), atau bu haji--menjadi magnet yang membuat kita selalu pengen dating lagi.
Masih dari Bandung, di salah satu ruas jalan yang dipenuhi dengan factory outlet, ada juga warung pinggir jalan yang bisa dibilang nomaden. Setahu saya, warung itu sudah pindah tiga kali. Awalnya mereka buka sekitar jam 11 malam, tapi kemudian buka lebih awal demi tuntutan konsumen yang enggak bisa makan kemalaman. Walaupun cuma warung kaki lima, perpindah-pindah pula, warung itu tetap ramai sampai sekarang.
Di Jakarta, banyak warung kelas kaki lima yang tidak pernah sepi. Wawasan saya seputar Jakarta masih sangat sempit, mengingat saya masih terhitung pendatang baru. Tapi setidaknya ada beberapa lokasi di sekitar tempat tinggal saya yang terlihat selalu ramai.
Di Pejompongan ada warung tenda aneka penyet dengan sambel khas yang menjadi juaranya. Dilihat sekilas dari luar, penampakan warung itu ”enggak banget”, tapi ramainya ampun-ampunan. Orang rela mengantre dari lapar sampai kenyang lagi, saking lamanya.
Bergeser sedikit ke daerah Rawa Belong, ada warung tenda nasi uduk yang cukup kondang di seantero Jakarta. Di siang hari, masih di kawasan yang sama, ada asinan betawi dan rujak juhi yang selalu menggoda iman di tengah teriknya Ibu Kota.
Sekadar memberi gambaran, di sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya (sekali jalan sekitar 5 kilometer), bisa ditemukan banyak sekali ragam kuliner kekayaan Nusantara. Selain nasi uduk, asinan betawi, dan rujak juhi di atas, masih banyak lagi sajian yang menarik hati. Sebut saja soto mi khas Bogor, soto lamongan, sop buah berembel-embel Bandung, ketupat sayur, pecel kediri, pecel madiun, martabak (mulai dari yang mengusung nama Bandung, Bangka, sampai Mesir), angkringan sego kucing, pisang goreng pontianak, mendoan, dan sate padang. Banyak kan? Tapi masih ada lagi. Coba saya ingat-ingat lagi.
Oiya, ada kue dongkal (kue tradisional Betawi, mirip awug di Sunda), dan yang terbaru ada warung tenda bir pletok plus ketan bakar. Konsepnya saya lihat mirip angkringan Jogja. Duduknya lesehan.
Nah, yang ini saya belum coba, tapi segera menjadi target selanjutnya.
Kembali ke kekayaan kuliner jalanan. Itu baru seruas jalan sepanjang 5 kilometer. Dan belum semua saya sebutkan, misalnya nasi goreng dan pecel lele yang bisa dikatakan menjadi ”pemandangan wajib” di setiap ruas jalan. Coba seluruh Jakarta, coba seluruh Indonesia. Wuaaah, pasti banyak banget! Kalau sudah begini, saya merasa bahagia hidup di Indonesia. Karena surga kuliner ada di depan mata, bertebaran di mana-mana. Ya, walaupun kadang ngomel-ngomel karena trotoar dimonopoli, atau kadang mengalami gangguan pencernaan ketika jajan sembarangan, saya tetap enggak kapok mengunyah jajanan pinggir jalan. Yuuuk, siapa mau ikut kulineran di pinggir jalan bareng saya?
Tulisan ini saya buat untuk memeriahkan Femina Foodlovers Blog Competition 2013
1 comment:
Macam mana nasi kucing tuh,,? ada ikan kucingnya ke ? enak tak,,
Post a Comment