Setelah beberapa hari lewat depannya, secara rute sepedaan saya, akhirnya Sabtu (8/8) lalu kesampaian juga saya menyambangi tempat ini. Tempatnya sebenernya tidak terlalu luas, tapi ternyata menu yang ditawarkan cukup variatif. Sebut saja Lotek Katineung (cabang Yogya Kepatihan), Siomay Tulen, Ayam Bakar Mergosari (ada pepes2an juga sih), Es Bungsu, pempek (lupa mereknya), mendoan (lupa juga titelnya), zupa-zupa, tahu peletok, Puding Green Leaf, dan batagor. Untuk minumannya ada Es Jacko (gak mo kalah memanfaatkan momen meninggalnya si raja pop itu), youghurt, aneka jus, dan standar minuman botol.
The Waroeng ini menempati halaman depan sebuah rumah gaya Belanda. Duduk di kursi kayu kecil-kecil, dengan meja yang juga kecil, kalo siang sepertinya kita bakal disuguhi pemandangan keriuhan anak-anak SMP, karena tempat ini berseberangan sama SMP 44 Bandung. Waktu saya datang sih ramai lancar karena pas hari Sabtu dan sudah agak sore.
Karena merasa lotek aja bakal kurang nendang, saya juga mesen mendoan biar kenyangnya pas. Eiitts, saya gak gembul-gembul amat kok. Mendoan itu saya makan berdua temen. Seporsi mendoan terdiri dari 4 ato 5 potong (gak sempet itung) dengan ukuran lebih kecil daripada tempe mendoan yang pernah saya makan di Cilaki dan belakang Telkom Supratman. Tingkat kekeringannya juga terlalu kering untuk ukuran mendoan, tapi saya suka sih. Gurihnya pas. Trus, uniknya ada kremesannya. Ya, semacam rontokan dari tepung mendoan itu lah. Sambalnya juga enak. Beda sama sambel mendoan yang biasanya sambal kecap dengan potongan cabe, yang ini cabenya ikutan diulek.
Oya, temen saya mesen nasi plus pepes ikan mas plus sayur asem, kalau gak salah dari kedai Mergosari. Saya gak begitu perhatiin soalnya udah laper. Yang ini penyajiannya heboh sekali. Nasinya ditaruh di bakul dari anyaman bambu, nasi dan pepes dalam piring tersendiri, trus lalapan dengan porsi melimpah ditempatkan di nampan plastik. Sumpah porsi lalapan itu lebay, apalagi untuk ukuran saya yang gak demen lalap. Gimana enggak, ada dua butir terong hijau ukuran sedang, lima irisan timun, selada, dan seonggok leunca. Ditambah dengan mangkuk kecil buat cuci tangan, meja mungil kami langsung penuh sesak. Kebayang kalo satu meja itu penuh diisi empat orang, gak muat kali ya buat nampung semua pesanan.
Testimoni dari temen saya, pepesnya oke, tapi sayur asamnya terlalu manis. Dia bilang seperti kolak. Hehehe. Saya sempet cicipin sambelnya. Sambel terasi dengan tomat dan cabe yang diulek kasar. Pedesnya lumayan nampol.
Satu lagi dari The Waroeng (sebelum kelupaan), tapi gak ada hubungannya sama makanan. Kalau ada yang berniat ke tempat ini dalam waktu dekat, dan perlu pergi ke toilet, siapkan fisik yang prima, soalnya letak toiletnya jauuuuh di belakang, berkelok-kelok. Sampai-sampai tulisan "toilet"-nya aja ada kali empat biji. Pas saya tanyakan ke mbak yang di kasir, dia bilang emang belum direnovasi. Trus sambil bercanda dia bilang, ”Sekalian biar kalo balik ke meja udah laper lagi…” Bisa aja si mbak.
Mengingat letak yang strategis (deket kantor saya maksudnya) dan harganya masih terjangkau (semoga gak karena promosi aja), keknya tempat ini bisa jadi alternatif baru mengisi perut, nih, atau buat ngabur sebentar dari kantor pas sore-sore. Besok-besok mo cobain pudingnya, ah. Keknya menarik, bentuknya imut-imut....
Lotek Katineung (tanpa nasi) : Rp 7.500
Mendoan : Rp 5.000
Plus nasi pepes, sayur asem, dan dua teh botol, total kerusakan Rp 30.000-an